Jakarta — Potret kehidupan siswa Sekolah Rakyat menjadi salah satu sorotan utama dalam Pameran Haluan Merah Putih yang digelar oleh Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara. Pameran ini memamerkan berbagai foto kegiatan yang menggambarkan keseharian para siswa di asrama, ruang belajar, hingga kegiatan sosial di lingkungan mereka.
Pameran yang berlangsung di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta, tersebut menjadi wadah untuk menampilkan wajah pendidikan rakyat yang berakar pada nilai-nilai kebersamaan dan nasionalisme. Melalui dokumentasi visual, pengunjung diajak menyelami kehidupan Sekolah Rakyat yang sederhana, namun sarat makna perjuangan dan kebanggaan terhadap pendidikan karakter bangsa.
Semangat Pendidikan Berbasis Rakyat
Sekolah Rakyat dikenal sebagai model pendidikan alternatif yang menekankan semangat kebersamaan, kemandirian, dan penguatan nilai-nilai sosial. Tidak hanya menekankan kemampuan akademik, sekolah ini juga mengajarkan etika sosial, budaya gotong royong, dan rasa cinta tanah air.
Foto-foto yang ditampilkan memperlihatkan momen sederhana namun bermakna: siswa yang makan bersama di dapur umum, guru yang mengajar di kelas tanpa papan tulis digital, serta kegiatan membersihkan halaman sekolah. Semua itu menggambarkan suasana kebersamaan yang hangat, jauh dari hiruk-pikuk sekolah modern yang serba kompetitif.
Menurut salah satu kurator pameran, Andi Priyanto, dokumentasi ini diambil selama periode enam bulan di beberapa wilayah seperti Yogyakarta, Malang, dan Banten. “Kami ingin menampilkan bahwa pendidikan rakyat bukan sekadar ruang belajar, tetapi ruang pembentukan karakter,” ujarnya.
Pameran Haluan Merah Putih: Ruang Refleksi Bangsa
Pameran ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan bertajuk Haluan Merah Putih, yang digagas untuk memperingati semangat kebangsaan dan perjuangan Indonesia dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Tema besar ini mengajak publik untuk menengok kembali makna kemandirian dan solidaritas sosial di tengah arus modernisasi.
Di area pameran, pengunjung disuguhi ratusan foto berukuran besar yang menggambarkan perjalanan pendidikan rakyat dari masa ke masa. Beberapa di antaranya menampilkan potret anak-anak yang sedang belajar di alam terbuka, guru yang mengajar tanpa gaji tetap, dan komunitas lokal yang gotong royong membangun ruang kelas sederhana.
“Kami ingin mengingatkan bahwa pendidikan sejati tidak hanya diukur dari fasilitas, tetapi dari kemauan dan semangat belajar,” kata Dea Duta Aulia, perwakilan dari panitia pameran.
Aktivitas Belajar yang Menghidupkan Nilai Gotong Royong
Dalam dokumentasi yang dipamerkan, terlihat bagaimana siswa Sekolah Rakyat diajarkan untuk mandiri dalam keseharian mereka. Mereka menyiapkan makanan sendiri, membersihkan ruang kelas, bahkan menanam sayuran di halaman sekolah untuk kebutuhan dapur.
Salah satu foto menarik menampilkan seorang guru perempuan yang mengajar anak-anak di bawah pohon besar dengan papan tulis kecil. Pemandangan ini menjadi simbol bahwa semangat belajar tidak membutuhkan kemewahan, melainkan keikhlasan dan komitmen.
“Kami ingin anak-anak belajar tidak hanya dari buku, tapi juga dari kehidupan sehari-hari,” ujar Rini Sulastri, pengajar di salah satu Sekolah Rakyat di Yogyakarta. Ia menambahkan, pendidikan yang ia berikan menanamkan nilai kerja sama, empati, dan cinta lingkungan.
Peran Komunitas dalam Pendidikan Rakyat
Salah satu hal yang menarik dari Sekolah Rakyat adalah peran besar masyarakat sekitar dalam menopang jalannya pendidikan. Orang tua, tokoh masyarakat, dan relawan ikut aktif memberikan kontribusi — baik dalam bentuk tenaga, waktu, maupun dukungan moral.
Dalam pameran, hal ini tergambar lewat foto para orang tua yang ikut mengajar keterampilan lokal seperti menenun, bertani, atau memperbaiki alat musik tradisional. Hal ini memperkuat pesan bahwa pendidikan tidak hanya milik sekolah, tetapi milik seluruh ekosistem sosial.
Pendekatan ini sejalan dengan nilai-nilai Pendidikan Pancasila yang menempatkan gotong royong sebagai pondasi utama. Model seperti ini diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah modern untuk kembali mengakar pada budaya lokal.
Antusiasme Pengunjung dan Pesan Moral Pameran
Sejak dibuka, Pameran Haluan Merah Putih dikunjungi berbagai kalangan — mulai dari pelajar, akademisi, hingga pejabat publik. Banyak yang mengapresiasi pendekatan visual yang tidak hanya menampilkan keindahan foto, tetapi juga pesan sosial yang kuat.
Beberapa pengunjung bahkan menyebut pameran ini sebagai “napas segar di tengah gempuran komersialisasi pendidikan”. Menurut mereka, Sekolah Rakyat mengingatkan publik bahwa esensi belajar adalah tumbuh bersama, bukan sekadar mengejar nilai akademik.
“Foto-foto ini seperti cermin yang menampar kita — betapa pendidikan kini terlalu fokus pada fasilitas, bukan pada jiwa,” ujar Arif Nugroho, mahasiswa pendidikan yang datang dari Depok.
Pelestarian Nilai Nasionalisme Lewat Pendidikan
Selain menggambarkan keseharian siswa, pameran juga menyoroti upaya Sekolah Rakyat dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Lagu wajib nasional, bendera merah putih, dan upacara sederhana menjadi bagian dari rutinitas harian di sekolah tersebut.
Dalam salah satu panel, foto menunjukkan anak-anak dengan seragam merah berbaris sambil menyanyikan “Indonesia Raya”. Momen itu menjadi simbol kuat tentang bagaimana rasa cinta tanah air diajarkan sejak dini, bukan sekadar lewat teori, tapi lewat kebiasaan.
Pendidikan karakter seperti inilah yang diharapkan bisa memperkuat generasi muda agar tetap berpegang pada nilai-nilai bangsa, meski dunia terus berubah dengan cepat.
Makna di Balik Haluan Merah Putih
Pameran ini bukan sekadar dokumentasi visual, melainkan pengingat bahwa semangat kebangsaan tidak boleh luntur. “Haluan Merah Putih” menjadi metafora arah perjuangan Indonesia — sebuah perjalanan panjang menuju masa depan yang berdaulat, berdaya, dan berkarakter.
Melalui karya foto tentang Sekolah Rakyat, pesan itu disampaikan dengan cara sederhana namun menggetarkan: pendidikan adalah jalan menjaga jati diri bangsa.
Ke depan, LKBN Antara berencana membawa pameran ini berkeliling ke beberapa kota besar, termasuk Surabaya, Medan, dan Banda Aceh, agar lebih banyak masyarakat yang dapat menyaksikan potret kebersahajaan sekaligus kebanggaan pendidikan rakyat Indonesia.