Jakarta – Kasus seorang siswa SMP di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terjerat judi online (judol) dan pinjaman online (pinjol) kembali menyita perhatian publik. Siswa tersebut dikabarkan absen sekolah selama sebulan penuh karena malu dan takut menghadapi teman-temannya setelah terlibat utang akibat kecanduan permainan judi daring.
Gambaran Krisis Sosial Digital
Kasus ini bukan yang pertama. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah pelajar di berbagai daerah di Indonesia juga dilaporkan mengalami hal serupa: terjerat utang akibat bermain gim judi daring yang menjanjikan keuntungan cepat. Ironisnya, banyak dari mereka masih di bawah umur dan belum memahami risiko hukum maupun finansial dari tindakan tersebut.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebut kasus ini sebagai bentuk kegagalan sistem pendidikan dan pengawasan sosial. Bukan hanya soal kurangnya literasi digital di kalangan pelajar, tetapi juga lemahnya kontrol orang tua serta celah besar dalam regulasi platform online.
Lemahnya Literasi Digital di Kalangan Pelajar
Menurut data JPPI, sekitar 60% siswa SMP dan SMA di Indonesia telah memiliki akses langsung ke internet pribadi melalui gawai mereka. Namun, hanya sebagian kecil yang memahami bagaimana mengenali konten berisiko seperti situs judi, pinjaman online ilegal, atau investasi bodong.
“Anak-anak ini tahu teknologi, tapi tidak tahu batasannya. Mereka pintar menggunakan aplikasi, tapi tidak dibekali kemampuan berpikir kritis,” ujar salah satu pengamat pendidikan digital, Nur Hadiyansyah, dalam diskusi daring yang dikutip pada Senin (27/10).
Lingkaran Pinjol dan Judi Online
Salah satu faktor yang memperparah situasi adalah mudahnya akses terhadap pinjaman online ilegal tanpa verifikasi usia. Banyak platform yang hanya membutuhkan nomor ponsel dan KTP, yang sering kali dipinjam atau dimanipulasi oleh pelajar. Dari sinilah, praktik berutang demi bermain judi online mulai menjalar.
“Anak-anak terjebak pada iming-iming kemenangan cepat. Saat kalah, mereka berutang lagi untuk menutup kerugian, hingga akhirnya stres dan malu ke sekolah,” ungkap JPPI dalam pernyataannya.
Pentingnya Peran Keluarga dan Sekolah
Pakar psikologi remaja Dr. Dwi Astuti menilai bahwa kasus seperti ini harus disikapi bukan dengan hukuman semata, melainkan dengan pendekatan sosial dan edukatif. Ia menegaskan, “Anak usia SMP masih mencari jati diri. Jika tidak ada pengawasan dari keluarga dan sekolah, dunia digital bisa jadi tempat pelarian yang salah.”
Menurutnya, sekolah perlu aktif mengintegrasikan literasi finansial dan digital dalam kegiatan belajar mengajar. Sementara itu, orang tua diminta untuk tidak hanya memberikan gawai, tetapi juga mendampingi anak dalam penggunaannya.
Konteks Aceh: Edukasi dan Pengawasan Dini
Di Aceh sendiri, pengawasan terhadap aktivitas daring anak sudah mulai diperketat, terutama sejak meningkatnya kasus penyalahgunaan media sosial dan game online berisiko. Beberapa sekolah di Banda Aceh dan Lhokseumawe bahkan telah menerapkan “hari tanpa gawai” di lingkungan sekolah untuk mendorong interaksi langsung antar siswa.
Selain itu, Dinas Pendidikan Aceh bersama pihak kepolisian dan Kominfo setempat juga sedang menyiapkan program Gerakan Anti Judi Online Sekolah untuk meningkatkan kesadaran bahaya game taruhan digital di kalangan pelajar SMP dan SMA.
Perlu Kolaborasi Serius
Masalah ini menunjukkan bahwa penanggulangan kecanduan judi online di kalangan pelajar tidak bisa diserahkan hanya pada sekolah. Diperlukan kolaborasi lintas sektor: antara pemerintah, penyedia layanan internet, lembaga keuangan digital, hingga masyarakat.
“Ini tanggung jawab bersama. Kita tidak bisa hanya menyalahkan anak-anak tanpa memperbaiki sistem yang memungkinkan mereka terjerumus,” tambah Dwi Astuti.
Kesimpulan
Kasus siswa SMP yang terjerat judi online dan pinjaman daring menjadi peringatan penting bagi semua pihak. Di era keterbukaan digital, pengawasan dan pendidikan karakter tidak boleh tertinggal. Internet seharusnya menjadi ruang belajar, bukan perangkap utang dan kecanduan.
Untuk masyarakat Aceh dan Indonesia pada umumnya, penting bagi keluarga dan sekolah untuk lebih aktif membangun komunikasi dan literasi digital sejak dini agar kasus serupa tak terulang lagi.