Denpasar – Kisah seorang siswi di Bandar Lampung bernama Gina Dwi Sartika tengah menjadi perbincangan publik. Gadis SMP ini terpaksa berhenti sekolah setelah kerap menjadi korban bullying dari teman-temannya hanya karena pekerjaan orang tuanya sebagai pemulung.
Dalam video yang beredar di media sosial, Gina mengaku sering diejek dan direndahkan oleh teman sekelasnya. “Mereka suka ngeledek orang tua, bilang kerjaannya cuma ngambil sampah. Kadang sampai ngomong kasar,” ujar Gina dengan suara pelan, mengenang kejadian itu.
Dibully karena Latar Belakang Keluarga
Gina sebelumnya bersekolah di SMPN 13 Bandar Lampung. Meski awalnya rajin dan aktif di kelas, ia mulai sering tidak masuk sekolah karena tekanan psikologis dari perlakuan teman-temannya. Bully yang diterima tidak hanya berupa ejekan, tapi juga perlakuan diskriminatif yang membuatnya semakin tertekan.
Kepala sekolah setempat, Amaroh, menyebut pihaknya sudah berusaha mencegah Gina untuk berhenti sekolah. “Kami sudah berbicara dengan orang tua Gina agar anaknya tetap lanjut belajar, tapi tampaknya trauma sudah terlalu dalam,” kata Amaroh.
Pihak sekolah juga mengaku sudah menegur para siswa yang diduga melakukan perundungan, meski belum ada sanksi tegas karena prosesnya masih dalam tahap klarifikasi.
Faktor Ekonomi dan Tekanan Sosial
Ayah Gina sehari-hari bekerja sebagai pemulung dan ibunya membantu dengan mengumpulkan barang bekas dari lingkungan sekitar. Kondisi ekonomi keluarga sederhana itu menjadi bahan olok-olokan di sekolah. “Anak saya sering menangis, katanya malu dipanggil anak pemulung,” ujar sang ayah dalam wawancara singkat.
Kisah ini membuka mata publik tentang bagaimana stigma sosial terhadap pekerjaan bisa berdampak besar pada psikologis anak-anak. Banyak pihak menilai bahwa kasus Gina bukan hanya soal ejekan, tapi juga bentuk ketimpangan empati di lingkungan sekolah.
Psikolog pendidikan, Dr. Nirmala Hasan, menilai bahwa kasus seperti ini menunjukkan lemahnya literasi empati di kalangan pelajar. “Kita sering lupa bahwa anak-anak membawa persepsi dari lingkungan sosialnya. Bila di rumah mereka terbiasa melihat perbedaan status ekonomi, di sekolah mereka bisa mempraktikkan hal itu tanpa sadar,” jelasnya.
Respon dan Dukungan Warganet
Setelah kisah Gina viral, dukungan berdatangan dari berbagai daerah. Banyak warganet mengungkapkan empati dan mengajak masyarakat untuk tidak memandang rendah pekerjaan apa pun.
Beberapa komunitas sosial bahkan mulai menggalang dana untuk membantu Gina kembali bersekolah. “Kami sedang mengupayakan agar Gina bisa melanjutkan pendidikannya di sekolah nonformal atau homeschooling,” kata salah satu relawan di Lampung.
Pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan juga berencana turun langsung memberikan pendampingan psikologis serta bantuan biaya pendidikan. “Setiap anak berhak mendapat pendidikan tanpa diskriminasi,” ujar perwakilan Disdik Lampung.
Masalah Bullying di Sekolah Masih Marak
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat bahwa kasus perundungan di sekolah masih cukup tinggi di Indonesia. Sepanjang 2024, terdapat lebih dari 2.000 laporan kasus, baik dalam bentuk fisik, verbal, maupun digital.
Bentuk perundungan yang paling banyak terjadi adalah ejekan terkait kondisi fisik dan latar belakang ekonomi keluarga. “Kasus Gina hanyalah satu dari banyak kisah yang tidak terekspos. Bullying masih menjadi tantangan besar di dunia pendidikan kita,” ujar staf Kemendikbudristek bidang perlindungan anak dan remaja.
Kemendikbudristek juga menegaskan pentingnya implementasi program sekolah ramah anak yang bukan hanya mengutamakan prestasi akademik, tapi juga membangun lingkungan sosial yang aman dan saling menghormati.
Membangun Sekolah yang Empatik
Pakar pendidikan menilai bahwa guru dan orang tua berperan besar dalam mencegah perundungan. Anak-anak perlu dilatih untuk memahami perbedaan dan menghargai perjuangan orang lain. “Kita perlu mengajarkan bahwa semua pekerjaan itu mulia. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah selama dilakukan dengan jujur,” kata Dr. Nirmala.
Sementara itu, sejumlah aktivis pendidikan di Aceh dan Sumatra lainnya turut mengangkat isu ini dalam diskusi daring. Mereka menekankan bahwa kisah seperti Gina seharusnya menjadi peringatan bagi sekolah-sekolah untuk lebih aktif dalam pembinaan karakter siswa.
Harapan Baru untuk Gina
Meskipun telah keluar dari sekolah, Gina berharap bisa kembali belajar suatu hari nanti. “Saya masih pengin sekolah lagi, biar bisa bantu orang tua,” katanya dengan senyum kecil.
Banyak pihak berharap kisah Gina bisa membuka kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghormati setiap pekerjaan dan memperlakukan semua orang dengan setara. Sebab di balik profesi sederhana, ada kerja keras dan cinta keluarga yang luar biasa.
Kisah Gina menjadi pengingat bagi kita semua: pendidikan bukan hanya tentang nilai dan seragam, tapi juga tentang kemanusiaan dan saling menghargai.