Jakarta – Dunia pendidikan Indonesia kini menghadapi fenomena yang cukup mengkhawatirkan: meningkatnya “budaya lapor” dari orang tua murid terhadap guru. Banyak kasus muncul ketika guru menegur atau mendisiplinkan siswa, namun justru berujung laporan ke pihak sekolah, dinas, atau bahkan media sosial. Fenomena ini bukan sekadar insiden sesaat, melainkan gejala yang mencerminkan perubahan hubungan antara guru, murid, dan orang tua di era modern.
Budaya Lapor dan Hilangnya Kepercayaan
Di masa lalu, guru dikenal sebagai sosok yang dihormati dan dipercaya sepenuhnya dalam mendidik anak. Kini, situasinya mulai bergeser. Sebagian orang tua merasa memiliki hak penuh untuk mengawasi setiap tindakan guru terhadap anaknya, bahkan untuk hal-hal yang bersifat pembinaan ringan seperti teguran disiplin, nasihat moral, atau hukuman edukatif.
“Begitu anak pulang menangis, orang tua langsung curiga dan melapor. Padahal bisa jadi guru hanya menegur karena terlambat atau melanggar aturan sekolah,” kata Dian Setiawan, pengamat pendidikan di Jakarta.
Menurutnya, hilangnya kepercayaan antara orang tua dan guru menjadi akar persoalan utama. Guru kini kerap berada dalam posisi sulit: antara menjalankan tugas mendidik dan menjaga agar tidak disalahpahami.
Dampak Negatif bagi Pendidikan Murid
Fenomena budaya lapor berlebihan berpotensi menimbulkan dampak serius terhadap pembentukan karakter murid. Ketika setiap tindakan guru selalu diawasi atau dilaporkan, guru cenderung kehilangan keberanian untuk menegakkan disiplin. Akibatnya, siswa tumbuh tanpa memahami batas tanggung jawab dan konsekuensi dari perbuatannya.
“Sekolah bukan hanya tempat belajar akademik, tapi juga tempat membentuk karakter. Jika guru tidak lagi punya otoritas, bagaimana pendidikan moral bisa berjalan?” ujar Dr. Rahmat Yusuf, pakar psikologi pendidikan dari Universitas Negeri Makassar.
Ia menambahkan, tanpa adanya keseimbangan antara hak murid dan kewenangan guru, pendidikan bisa kehilangan maknanya. Anak-anak mungkin merasa bebas dari tanggung jawab, sementara guru merasa tertekan oleh ketakutan akan laporan.
Kasus-Kasus yang Jadi Sorotan
Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan oleh kasus seorang siswa yang melaporkan guru karena ditegur saat merokok di lingkungan sekolah. Padahal, teguran tersebut bagian dari disiplin dan keselamatan siswa. Untungnya, kasus itu berakhir damai setelah mediasi antara guru dan orang tua dilakukan.
Peristiwa serupa juga kerap terjadi di berbagai daerah. Dari Aceh hingga Papua, laporan terhadap guru semakin sering muncul, mulai dari hal kecil seperti pelanggaran seragam hingga persoalan nilai ujian. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana mudahnya konflik pendidikan bereskalasi hanya karena kurangnya komunikasi dan empati.
Perlu Pendekatan Edukatif dan Komunikatif
Sebagian besar pakar pendidikan sepakat bahwa solusi dari fenomena ini bukan sekadar melarang orang tua melapor, tetapi membangun komunikasi dua arah yang sehat. Guru perlu terbuka terhadap kritik dan evaluasi, namun orang tua juga perlu memahami konteks tindakan pendisiplinan yang dilakukan di sekolah.
“Budaya lapor harus diubah menjadi budaya dialog. Jika ada ketidakpuasan, bicarakan secara langsung dan santun. Tujuan kita sama: mendidik anak agar menjadi pribadi yang baik,” ujar Sri Handayani, Kepala Sekolah SMAN di Yogyakarta.
Pemerintah juga diharapkan dapat menyediakan mekanisme mediasi yang cepat dan adil, sehingga tidak semua laporan harus berakhir di ruang publik atau media sosial yang kerap memperkeruh suasana.
Pendidikan Butuh Wibawa dan Kepercayaan
Menjadi guru di era digital bukan hal mudah. Mereka dihadapkan pada tekanan sosial, tuntutan akademik, dan risiko disalahartikan. Oleh karena itu, membangun kembali wibawa guru menjadi langkah penting untuk memperbaiki ekosistem pendidikan.
Guru harus tetap diberi ruang untuk menegakkan aturan tanpa rasa takut. Sebaliknya, mereka juga perlu terus meningkatkan kemampuan komunikasi dan empati terhadap murid. Hubungan guru dan murid idealnya dibangun di atas saling hormat, bukan rasa curiga.
“Guru yang baik bukan hanya yang disukai murid, tapi yang berani menegur demi kebaikan,” ungkap Odemus Bei Witono, penulis dan pemerhati pendidikan nasional.
Peran Orang Tua sebagai Mitra Pendidikan
Orang tua seharusnya menjadi mitra strategis sekolah, bukan pihak pengawas yang selalu mencari kesalahan. Kolaborasi antara rumah dan sekolah menjadi kunci utama dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif. Ketika komunikasi berjalan dengan baik, potensi konflik bisa diminimalkan.
“Anak-anak yang tumbuh di lingkungan penuh konflik antara guru dan orang tua akan kesulitan memahami nilai tanggung jawab. Mereka belajar bahwa setiap masalah bisa diselesaikan dengan laporan, bukan dengan introspeksi,” jelas Rahmat Yusuf.
Kesimpulan
Fenomena “budaya lapor” yang berlebihan seharusnya menjadi bahan refleksi bagi semua pihak. Dunia pendidikan tidak bisa berjalan tanpa kepercayaan dan kerja sama. Guru bukan musuh, melainkan mitra yang berjuang untuk membentuk generasi masa depan.
Saatnya masyarakat mengembalikan marwah pendidikan sebagai ruang tumbuh, bukan arena pengaduan. Kritik boleh, tapi harus dengan semangat membangun. Karena sejatinya, masa depan murid bergantung pada seberapa sehat hubungan antara guru, orang tua, dan sekolah.